Jumat, 05 Oktober 2012

Mengukir Cinta Di Atas Air



          “Sungguh aku tak bisa, sampai kapanpun tak bisa membenci dirimu sesungguhnya aku tak mampu...”. Terdengar suara merdu dari mulut Chilla sembari menangis meratapi kesedihan dihatinya.“Tak kuat ku menahanmu mempertahankan cintaku, namun kau begitu saja tak pernah merindu...” Lanjutnya sambil menghisap habis cairan yang ada dihidungnya dan memetik keras senar gitar yang sedang digenggamnya “gonjreeeng...”. Chilla pun berdiri tegak dan melepas semua rasa penatnya dengan olahraga kecil, seperti lari ditempat dan sedikit memutar balikan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Lalu berteriaklah Chilla sekencang-kencangnya, kebetulan dirumah memang sedang tidak ada siapapun. “Aaaarrrggghhh...Benci aku benci benci benci... Chilla benci Chicko!!!”. Dan Chilla pun menangis sambil memeluk erat guling kesayangannya. Karena terlalu lama menangis, Chilla pun tertidur hingga ia bermimpi.
~ Didalam Mimpi ~
            Sangat terlihat jelas rambutnya yang hitam legam, matanya yang sipit dan pandangan mata tajamnya menyorot ke arah Chilla, siapa dia? Ya, dia adalah Chicko. Chicko kemudian mendekati Chilla yang sedang asyik memainkan rambutnya. Ketika Chilla akan beranjak dari pijakannya dan berjalan ke arah dapur, Chicko mengikutinya. Chilla benar-benar merasakan bahwa Chicko memang sedang berada didekatnya dan akan menyatakan cinta untuknya. Namun, sekejap bayang Chicko berubah menjadi orang asing. Wajahnya terlihat bukan seperti Chicko lagi, kulitnya mengelupas hingga tergambarlah sosok pria tak berkulit. Tengkorak putih yang mempunyai mata yang merah dan tengkorak itu menatap dalam wajah Chilla. Chilla merasa takut kalau-kalau akan terjadi sesuatu yang buruk menimpanya. Di alam bawah sadarnya, Chilla merasa bahwa tengkorak itu adalah jelmaan dari Chicko yang akan membunuh habis Chilla karena selalu saja mencoba mendapatkan cintanya. Chilla mulai resah karena tengkorak itu semakin medekatinya. Dan.. byaaar.... semuanya usai. Chilla pun terbangun karena takutnya yang teramat.
            Chilla pun melamun dan mencoba menerka-nerka, memaknai apa maksud dari mimpi yang tadi ia impikan. Apa maksud dari semua itu? Apakah karena dia tak membaca do’a dahulu sebelum tidur? Atau karena tak menerima keadaan yang ada kalau toh Chicko memang tak pernah bisa untuk menerima semua kasih sayang dan cinta yang tulus dari Chilla. Chilla pun menuliskan apa yang baru saja dia alami ketika tidur dan mengirimkan cerita tersebut kepada teman dekatnya melalui SMS(Short Message Sending).
            “Ran, tadi aku mimpi sesuatu yang mengerikan.” Kata Chilla kepada Ranti lewat sms.
            “Mimpi apaan?” Jawab Ranti.
            “Chicko berubah jadi tengkorak dan dia mau membunuh aku.” Jawab Chilla lagi.
            “Masa sih? Ah, gak usah terlalu dipikirin. Itu kan hanya bunga tidur!” Jawab Ranti.
            “Tapi ini semua membuat aku berpikir dan membenarkan apa yang aku pikirkan.”
            “Apa yang kamu pikirkan?”
            “Mungkin memang ini peringatan dari Tuhan untukku, karena aku mungkin terlalu dalam mencintai makhluk-Nya.”
            “Ya mungkin bisa jadi itu!”
            “Hmm...”
            Keduanya terdiam, tanda bahwa sms sudah diakhiri. Chilla kembali terdiam, dia seakan-akan lupa bahwa dirinya sedang mengidap penyakit hati karena melihat Chicko yang sedang asyik makan berdua dengan mesranya dengan sahabat Chilla sendiri. Padahal Chicko mengetahui bahwa Chilla menyimpan rasa kagum terhadap dirinya. Tapi, entahlah.
            Chilla masih terdiam, saat itu arah jarum jam berhenti tepat pada angka 8 dan 12, artinya waktu menunjukan pukul delapan malam. Chilla sepertinya masih merasakan shockmatic akibat mimpi tadi sore. Chilla resah tak bisa tidur. Berulang kali bola matanya mencari keberadaan sosok Chicko, dia takut kalau-kalau Chicko berubah lagi menjadi tengkorak yang mengerikan seperti yang dia lihat didalam mimpinya. Tapi tak ada apapun yang Chilla lihat. Chilla pun mengangkatkan kakinya dan membaringkan tubuhnya diatas kasur, menarik selimutnya hingga menutupi tubuhnya hingga ke dada dan mendekap hangat guling kesayangannya.
Chilla pun berkomat-kamit membaca mantra “Bismikaallahumaahyawaamuut. Chilla pun tertidur lelap. Tak bermimpi apapun, tapi dia mendengar suara-suara yang berhembus, suara itu nyaring seperti suara Chicko yangb sedang memanggil menyebut namanya. Chilla mendekap erat gulingnya lebih erat lagi, menandakan dia sedang ketakutan.
            “Chilla... Jangan kejar aku lagi.. Chilla, lepaskan aku....” Suara itu menghilang seketika. Chilla terbangunkan lagi. Degupan jantungnya kencang tak beraturan, Chilla resah. Bola mata Chilla terus menerawang ke langit-langit kamarnya, ke sudut lemari, ke kolong kasurnya dan ke setiap penjuru di rumahnya. “Ini nampak seperti teror!” Gumamnya dalam hati. Chilla melihat ke arah jam dinding yang berada di atas lemari baju, waktu tepat menunjukan pukul dua pagi. “Aku tak bisa tidur lagi, gimana ini?” Pikirnya meresah. Lalu, Chilla mencari berbagai macam buku di dalam lemari belajarnya, dia mencari berbagai macam buku yang bisa membuatnya tenang dan lupa dengan semua ketakutannya. Ini dia.. Al-Qur’an pun dia genggam, berharap bahwa buku kecil itu dapat menenangkannya.
            Tak sengaja Chilla pun membaca satu buah ayat yang berbunyi, “Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman! Sungguh, bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku (saja).[1] Chilla terdiam, sambil menutup bibirnya yang menganga karena terkaget ketika membaca ayat itu. Aku seperti memuja Chicko.. Astaghfirullah... pikirnya. Kemudian Chilla membaca lagi dan membuka lembaran-lembaran berikutnya, dan dengan ekspresi wajah yang sama. Chilla menangis ketika membaca “Katakanlah, “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.”Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.[2]
            Sejam berlalu, air matanya masih saja terus mengalir mengingat segala dosa yang telah Chilla lakukan. Sekejap bayangan Chicko menghilang, musnah entah kemana. Mungkin terbawa aliran air mata Chilla yang menetes sejak sejam yang lalu, meresap kedalam pori-pori kulit kain sarung bantalnya. Chilla termenung. Dia heran, mengapa Chilla harus merasakan cinta yang sebegininya. Tak bisa memiliki, padahal cinta itu amatlah suci. Mengapa harus disakiti? Chilla menghapus air matanya dan pergi ke toilet. Di dalam toilet, Chilla memandang wajahnya yang begitu pucat dan sembab. Matanya yang bengkak karena terlalu lama menangis, “seperti mayat hidup!” Tukasnya. Dia mencoba meraih keran yang menempel di dinding westafel, air itu mengucur dan di basuhnya wajah Chilla dengan air yang bening itu. “Air itu bisa aku rasakan, bisa aku sentuh, tapi setiap aku ingin mengukir sesuatu di atasnya aku tak mampu. Aku senang melihat butiran-butiran kristal air ketika aku mencipratkan air itu ke atas udara dan jatuh ke permukaan lantai. Pecah, air itu pecah dan musnah. Ini semua bagaikan cintaku yang ku coba ukir di hatimu. Semua tidak membekas dan tidak bisa aku miliki. Dalam tubuh ini terdapat milyaran air, bahkan darah yang mengalir pun berupa air. Apakah cinta itu abstrak? Dia mengalir di tubuh ini, apakah cinta itu benar-benar terukir di atas air? Darah yang mengalir ini bukan karena cintaku atau cintanya, tapi karena Allah Sang Maha Cinta yang mengalirkannya untukku... Jadi? Bisakah aku mengukir cintaku di atas air yang aku lihat saat ini?” Gumamnya.
            Chilla tersadar, bahwa cintanya kepada Chicko memang berlebihan. Untuk saat ini Chilla janji kepada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan pernah lagi memaksakan diri dan akan menerima segala apapun yang telah dimilikinya dengan rasa syukur.
~ Dua Tahun Kemudian ~
            Chilla meneruskan kuliahnya di Kairo, Mesir. Sedangkan Chicko sepertinya sudah menjadi pengusaha sukses di Indonesia. Chilla sedang belajar menjadi seorang penulis, dan memang sudah ada dua buah buku yang Chilla terbitkan sendiri. Saat itu, Chilla sedang berkunjung ke pameran buku di daerah Bandung, Landmark braga. Ketika Chilla sedang asyik membaca sinopsis setiap buku yang dia pilih, terdengar bunyi langkahan kaki yang semakin dekat menghampiri Chilla. Chilla sangat sensitif jika mendengar suara-suara yang menyeramkan seperti itu, kemudian Chilla membalikan badannya dan mencari dimana suara sepatu itu. Dan ketika berbalik lagi ke arah semula.
            “Hai Chilla...” Sapa seorang lelaki berbaju putih mengenakan jaket hijau army dengan gaya rambut yang modern dan populer saat ini. Cool abis! Siapa dia?
            “Eh.. Kaa..Kamu..?” Ucapannya terhenti ketika pria itu mengeluarkan kotak merah berbentuk hati yang di dalamnya terdapat cincin permata kepadanya.
            “Iya.. Aku. Apa kabarnya kamu Chilla?” Tanya pria itu.
            “Aaa..Aku..Apa ini?” Tanya Chilla heran.
            “Kamu gak tau? Ini cincin..” Jawabnya dengan penuh senyum.
            “Iya aku tau ini cincin, tapi untuk apa?” Tanya Chilla dengan nada tinggi.
            “Would you to be my girl? Marry with me?” Tanyanya serius dengan pandangan yang begitu dalam dan tajam.
            “Serius? Kok bisa?” Chilla panik. “Kamu gak lagi mau berusaha membunuh aku kan?” Lanjutnya sambil menjauhkan kotak itu dari hadapannya.
            “Aku serius Chilla! I really really seurious.. Please...” Ucapnya memelas.
            “Aku bener-bener gak ngerti Chicko, aku gak ngerti sama sikap kamu!” Tukas Chilla.
            “Setiap orang itu bisa berubah Chilla, dan aku sudah berubah. Aku ingin menjadi bagian dari hidupmu. Hiduplah bersamaku, mendampingiku!”
            “Kamu menjadikan aku sebagai pelarian hidupmu? Begitu?” Jawabku dengan nada membentak.
            “Tidak! Aku benar-benar ingin membalas cintamu saat ini.” Jawab Chicko mencoba meyakinkan.
            “Semuanya sudah berubah Chicko, aku berubah. Aku tak sama seperti dulu lagi.”
            “Kenapa?”
            “Karena aku sudah memiliki calon suami dan minggu depan kita akan menikah.” Jawab Chilla dan langsung saja Chilla pergi menjauh dari Chicko.
            Chicko tidak diam, dia mengejar Chilla dan menarik tangan Chilla supaya Chilla tetap tinggal dan merubah semua pikirannya dan mau menerima cinta Chicko.
            “Plaaaak...” Chilla layangkan tangannya dan didaratkan ke pipi kiri Chicko. “Kamu tau? Aku bukan benda yang seenaknya bisa kamu miliki dengan mudahnya! Kamu tau? Aku seorang wanita yang dulu pernah kamu sakiti! Kamu tau? 3 tahun lamanya aku mencoba melupakanmu dan sekarang kamu mau aku nerima kamu?”
            “Kalau begitu kamu belum berubah Chilla..”
            “Aku berubah!”
            “Kamu masih menyimpan rasa sakit di beberapa tahun yang lalu, itu karena dalamnya cintamu terhadapku. Dan kamu belum bisa menerima kenyataan di hari ini. Dulu pun kamu masih sama, masih belum bisa menerima kenyataan yang terjadi...” Chicko berhenti berbicara karena Chilla memotong pembicaraannya.
            “Cukup Chicko! Aku gak bisa... Masih ada wanita yang lebih baik dan pantas untukmu.” Jawab Chilla.
            “Yasudah, aku gak akan maksa kamu.. Pergilah..” Jawab Chicko yang mencoba merelakan.
            Uhibbuka fillah akhi..Cinta ini belum saatnya, aku masih kuliah dan kamu pun masih harus bekerja. Jika memang kamu adalah pemilik dari tulang rusukku, aku yakin kamu akan kembali dan memintaku lagi...
            And the last story of Chilla’s life. Chicko menikah dengan Tanti adik sepupu Chilla, dan Chilla menikah dengan seorang ikhwan dari Kairo, yang merupakan teman sekampusnya. Dan Chilla hidup berbahagia dengan suaminya saat ini.
            Cinta mengajarkan bagaimana indah dan pahitnya kehidupan, mengajarkan bagaimana dan apa peranan yang paling utama bagi manusia sealam raya. Cinta juga yang mengajarkan bagaimana caranya untuk hidup berbahagia dengan cinta yang dimiliki. Cinta yang semu bagaikan cinta yang terlukis di atas air, dan bagaikan kita bermimpi di siang bolong atau di larut malam yang tak pernah bisa kita miliki keindahannya. Seperti terbangunkan dari kematian ketika di bangkitkan. Semua hanyalah bayangan yang tak kan pernah benar-benar bisa dimiliki. Cinta yang sejati tak akan mungkin mengeluarkan kata-kata yang membuat terpesona, jikalau begitu itu hanyalah ujian keimanan semata. Cinta yang hakiki adalah cinta kepada Illahi.
            Kini, cintaku bermuara di dalam air yang terwadahi. Cinta  yang aku genggam, dan aku rawat dalam naungan cinta Illahi. Ijab kabul di hari itu membuat segalanya menjadi indah. Bukan lagi di atas air, namun air itu adalah cintanya. 
Terimakasih Allah atas segala cinta dari-Mu..   
                                                                                                                             -Frissilla Anggraeni-
SELESAI
***
[1]. Q.S Al-‘Ankabuut ayat 56       
[2]. Q.S At-taubah ayat 24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar