Bunyi jangkrik dan dinginnya malam kali ini benar-benar menjadi teman setiaku di malam ini. Aku meletakkan kepalaku di atas tanah, dan aku memandang ke arah langit dan aku melihat berbagai macam jenis bintang yang berserakan di atas sana. Namun, bulan itu memang selalu saja sendiri. Sama halnya denganku.
"Ah... Mungkin memang seharusnya seperti itu.." Langsung saja kusapu
segala pemikiran konyolku tentang apa yang terjadi pada langit di malam ini. Aku
sangat menikmati kesendirianku di malam ini, di tengah rimbunan pepohonan dan
banyak nya gunung-gunung di sekelilingku. Itu semua membuatku merasakan keteduhan dan
kedekatan yang amat sangat indah dengan Khalikku. Langsung saja kumatikan
handphone yang sempat berbunyi karena menghancurkan segala ketenangan dan ketentraman dalam jiwaku pada malam ini.
"Mungkin dengan kepergianku kali ini akan membuat mereka semua tenang,
tanpa harus merasakan sial atau apalah itu berbagai macam persoalan yang selalu saja
menyudutkanku. Apa karena memang aku harus selalu hidup dalam
kesendirian?" Tanyaku dalam hati.
Air mataku mulai mengucur dan ku alirkan dengan derasnya layaknya
air yang turun mengalir dari saluran pipa ke bak mandi. Ditemani dengan satu buah buku tulis dan sebuah
pena berwarna coklat keemas-emasan, aku mulai menuliskan apa yang sebenarnya
aku rasakan disaat tiada siapapun di sampingku.
Dear Diary...
Sepertinya
harapanku untuk mengobati semua luka yang sudah lama tertoreh di hati kakakku
tak juga bisa terealisasikan, semenjak kejadian itu aku tak kan pernah bisa
memaafkan diriku sendiri yang terlalu teledor, karena ketika aku hendak mengangkat panci yang berisikan air panas itu terguyurkan ke keponakanku yang masih sangat kecil. Sehingga kulit-kulitnya melepuh dan tak bisa terselamatkan lagi. Entah suatu kebodohan yang memang
tak wajar hingga karena perlakuan ku yang sangat buruk sekali mampu membuat
kakakku kehilangan anak pertamanya, dan mungkin saat ini aku masih selalu saja
di sebut-sebut sebagai "pembunuh" oleh kakakku. Tapi apakah ini semua
salahku? Aku tak menjadikan kecacatanku sebagai senjata untuk melindungi ku
agar tak tersalahkan, tapi memang inilah aku. Aku tak sama seperti mereka yang
bisa melakukan apa saja seperti apapun yang mereka inginkan. Aku cacat! Dan aku
selalu saja mendapatkan perlakuan buruk dari teman-teman ku, bahkan orangtua ku
sendiri. Hingga aku berfikir, mungkin tiada lagi artinya aku hidup. Aku di
besarkan oleh pembantu yang sudah lama bekerja kepada orangtua ku, dan sekarang
aku harus berpisah dengannya karena hari kemarin adalah hari terakhirnya
menghirup udara di planet bumi ini. Aku makin dan semakin merasakan
kesunyian, tiada seorangpun yang mampu menghapus setiap linangan air mata yang
turun membasahi pipi chubby ku.
Dalam
kegelapan dunia yang mencekam, dinginnya malam yang sangat menusuk hingga ke
tulang-tulangku itu semakin menyesakkan dadaku..Aahhh..aku tak tahaaaan... Mengapa aku tercipta sangat berbeda dengan yang lainnya? Hingga tiada satu orangpun yang peduli terhadapku... Oh Allah... Aku tak sanggup, mengapa
mereka membesarkan aku jika aku harus semerana ini? Mengapa tak mereka bunuh
saja aku sedari aku kecil dahulu? Kak Sandra... Maafkan Nia... Nia gak
sengaja membuat anak Kakak meninggal setelah 2 tahun lamanya itu... Aku
menyesal...
Aku semakin merasakan kesunyian, keheningan, tapi memang inilah saat-saat yang sangat
membuat ku merasakan tentram karena tidak ada lagi orang-orang yang menghina dan
mencemoohkan aku. Namun, aku merasakan kesendirian, kehampaan, kekosongan, rasa
tidak bersyukur karena aku terlahir sebagai anak cacat, penuh dengan kekurangan. Dan itu sangat menyakitkan sekali untukku..
"Sudahlah, mungkin memang seharusnya aku mengalami hal yang semodel begini, dan aku yakin akan ada kebaikan
setelah ini kalau aku bisa menempatkan diriku di tempat yang memang tepat
untukku.." fikirku.
Aku tundukkan kepalaku sejenak dan setelah
itu ku atur hela nafasku hingga akhirnya aku bisa tertidur dengan lelapnya
***
Kicauan burung dan sejuknya udara di pagi hari ini membuat semangatku berkobar,
memang masih terlihat sangat sepi di pegunungan ini. Yah wajarlah, niatannya
juga kan memang ingin menyepi dan menyendiri dan memang tidak akan mungkin ada banyak
orang yang berlalu lalang ditempat seperti ini. Aku
memutuskan untuk pergi dari tempat ini dan tinggal di masjid raya di pusat kota
Bandung itu.
Ku hampiri
motor bututku berwarna hitam bercorak oranye menghiasi kulitnya, kuambil
kunci motor yang tersimpan dalam di saku celanaku, kunaiki motor itu segemas
mungkin, ku banting stirnya dan lalu ku tancapkan gas sekencang-kencangnya.
"Aaaaawwww.." Jeritku spontan ketika sedang berada di tengah-tengah
perjalanan. Sakit mataku kambuh lagi, sehingga aku tak bisa melihat dengan
jelas, semuanya terasa buram, karena yang sedang aku fikirkan saat ini hanyalah
kesendirian dan tak ada gunanya lagi aku untuk hidup. Yah, kumantapkan niatan aku itu, dan aku semakin dekat dengan ajalku.. Aku tancap gas motorku lebih
kencang lagi mendekati pohon yang besar itu, hingga tiada sisa dari tubuhku
ini.
"Praaaaaak.." Terdengar suara ledakan yang sangat keras... Aku
melirik ke arah belakang "Bukan itu bukan motorku, aku belum menabrakan
diriku ke pohon besar itu, seketika aku terkaget dan mencari tau dimana suara
yang keras itu berada lalu aku jalankan kembali motorku untuk mendekati suara keras"Yah di daerah sini.. seperti nya.." . Dan setibanya aku di tempat kecelakaan
itu, aku menyaksikan tubuh seorang manusia yang sungguh sangat sempurna. Wanita
berwajah cantik mengenakan pakaian tertutup berwarna ungu muda bersama dengan
motor matic nya yang kini di lumuti
banyak darah, darah itu berceceran dimana-mana hingga memulas sebagian kulit
pohon yang berada tepat di hadapannya. Aku melihat diriku sendiri yang masih
terlihat sempurna, utuh "Aku tidak remuk seperti dia.. Aku masih bisa
berjalan dan masih bisa bernafas dengan semestinya, dan aku masih diberikan
kesempatan untuk menjadi seseorang yang berguna dan..." Tak ku lanjutkan
pembicaraanku pada diriku sendiri, "Bodoh untuk apa aku diam seperti ini!"
Aku segera
mendekati wanita yang penuh dengan darah itu, dan aku membantunya untuk keluar
dari tindihan motornya yang meniban sebagian wajahnya.. Tak bisa ku gambarkan
bagaimana hancurnya wajah seorang manusia yang seharusnya masih cantik dan
sempurna tanpa ada sedikit pun luka dan pecah-pecah di wajahnya kini harus
mengalami sesuatu yang sangat mengerikan.
"Aaaaaaarrrggghhh..." Ku pegang erat mataku yang masih seperti tadi
sakitnya, luar biasa.. Ini adalah satu titik dan satu awal dimana aku berbuat
sesuatu yang sangat berguna dan bermanfaat untuk seorang manusia yang sama
sekali aku tak mengenalinya, meskipun dia dalam keadaan tak sadar dan penuh
dengan darah. Mungkin saja dia masih diberikan kesempatan untuk hidup,
"Aku bukan pembunuh! Dan bahkan mungkin semoga saja ini semua belum
terlambat" tekadku dalam hati untuk membuktikan kepada diriku sendiri
bahwa aku bukanlah seorang pembunuh, tapi yang menyelamatkan nyawa manusia
ketika dia sudah melakukan aksi bunuh diri, meskipun dengan mataku yang sangat
sakit ini aku melakukannya.
Ku angkat wanita itu dan ku
ikatkan dirinya di motorku menggunakan ranting-ranting yang berada disekitar
pohon besar itu sehingga aku bisa membawanya dengan cepat ke rumah sakit yang
terdekat dari daerah sini.
***
= Sesampainya Di Rumah Sakit =
Tak'kan kubuat cerita ini layaknya kisah si melankolis
yang tak tau bagaimana berbuat sesuatu, terhimpit pemikirannya oleh perasaan
yang berkecamuk didalam pikirannya. Aku memang tak bisa berbicara, namun segera
saja aku tuliskan bagaimana kronologi kecelakaan yang menimpa wanita yang di
bawanya itu, dan tak lupa aku segera meminta bantuan orang sekitar untuk
memberitahukan kepada keluarga si wanita itu bagaimana keadaan anaknya yang
saat ini sedang berada di rumah sakit karena aksi bunuh diri.
Setelah
doktor selesai memeriksa bagaimana keadaan wanita tersebut, doktor itu kemudian
keluar dari ruangannya dan langsung saja aku menanyakan kepadanya tentang
perkembangan kesehatan wanita itu.
“ahaiaha
ho’..” Ucapku sambil menggerakkan tanganku untuk memberikan isyarat
kepada doktor tersebut.
“Lihatlah
kedalam, dia masih terselamatkan nyawanya. Hanya saja, dia tak bisa berjalan
karena tulang-tulangnya pun tak sekuat awal mula, dan kepalanya yang sangat
terbentur keras sehingga mengakibatkan dia tak bisa melihat.” Begitulah jawab
doktor yang menjelaskanzs kepadaku.
Aku
pun segera masuk kedalam ruangan dimana wanita itu berbaring, aku melihatnya
sedang menangis menutupi wajahnya. Aku pun segera mendekatinya..
“Ha’...”
Panggilku..
Dia
mencari dimana suara ku dengan mengangkat kedua tangannya untuk mencari
keberadaan ku. “Siapa kamu?” Tanya nya nyaring.
“Ini
aku, Nia. Aku yang membawa Kakak ke rumah sakit ini ketika kakak mengalami
kecelakaan hebat tadi.” (Langsung saja di artikan seperti ini...)
“Kenapa
kamu menolong aku yang jelas-jelas aku ingin mengakhiri hidupku ini hah?
Lihatlah aku jadi seperti ini... Aku tak bisa melihat dan kaki ku sama sekali
tidak bisa aku gerakkan! Coba saja kalau kamu tadi tidak menolongku, mungkin
aku tak kan seperti ini.”
“Maafkan
aku kak, tapi aku juga sama seperti kakak yang mengalami depresi sangat teramat
berat. Aku pun awalnya akan mengakhiri hidupku juga dengan menabrakkan diri ke
pohon yang besar bersama dengan motorku, tapi hal itu tak sempat aku lakukan
karena aku mendengar suara keras yang itu muncul dari seberang dan itu adalah
motor kakak. Aku tak ingin melihat kakak yang seharusnya masih hidup dan
membenahi diri malah mengakhiri hidupnya, mungkin kalau aku yang mati tak kan
ada yang merasakan kehilangan, tapi kalau kakak, aku yakin banyak yang akan
merasakan kehilangan kakak.”
“Kamu
salah!” Tukasnya dengan nada menyentak.
“Memang
apa yang membuat kakak merasakan depresi sehingga muncul tekad untuk mengakhiri
hidup kakak?” Jawabku merendah sambil menundukkan wajahku.
“Pertama,
karena aku selalu saja mengalami perlakuan buruk dari suami ku. Kedua, aku
kehilangan pekerjaan ku, dan yang ketiga aku baru saja mengalami keguguran
karena aku depresi selalu di tekan-tekan oleh suami ku. Aku tak tahan
menghadapi kehidupan yang seperti ini. Orang tua ku sudah lama tiada, aku di
besarkan di panti asuhan, dan mertua ku.. Hah.. sama seperti di
sinetron-sinetron, orang kaya banyak uang yang memandang rendah padaku. Aku
seperti budak, pembantu yang tak di gaji dan di acuhkan di buang begitu saja
layaknya bubble gum ketika manisnya tiada di buang dan lalu di injak tiada
harganya.”
Seketika dia
terdiam dan mencoba meraih tangan ku, dia menyuruh ku untuk duduk di sampingnya
dan kemudian melanjutkan pembicaraannya.
“Kamu umur
berapa?” Tanya wanita itu.
“Aku 21
tahun...” Jawabku.
“Lalu, kenapa
kamu depresi dan mau melakukan hal yang sama persis dengan ku?” Tanyanya lagi.
“Aku cacat
dan banyak orang yang mengucilkan ku, terlebih orang tuaku dan semuanya sangat
jijik berada dekat denganku. Aku tak sanggup seperti ini terus, dan pernah ku
melakukan sesuatu yang sangat berakibat fatal menerbangkan nyawa seorang bayi.
Ini karena kecacatan yang ada pada diriku.”
“Untungnya
aku tak bisa melihat mu kalau kejadiannya akan seperti itu, beruntung sekali
untukmu kecelakaan yang terjadi padaku ini J”
“Tapi, ini
semua membukakan mata dan pemikiran ku. Aku mengerti sekarang bagaimana aku
harus menjalani kehidupanku yang serba kekurangan ini.”
“Ya, jika
sudah begini mau apalah aku. Masalah kan terus selalu mengintai selama kita
masih hidup di dunia yang judulnya pun sudah fana, hmm... waktunya taubat dan
membersihkan segala diri dari dosa Nia..”
“Tapi, apakah
masalah ini harus kita hindari? Sementara berbicara pun aku tak bisa, kakak
sendiri pun tak bisa melihat.”
“Sendiri
lebih baik dan mencari kehidupan yang baru. Itu solusi untukku...”
“....” Aku
terdiam tak menjawab.
Suasana
tiba-tiba menjadi hening. Dia terdiam, begitupun dengan aku. Hmm.. aku tak tau
harus bagaimana menebus rumah sakit ini, uang pun aku tak punya. Entahlah...
***
Karena
aku tak sanggup membayar rumah sakit, aku pun harus merelakan motor
kesayanganku dan Kak Uni harus merelakan handphone yang selama ini dia gunakan.
Inilah
awal perjuangan ku dan Kak Uni untuk menjalani kehidupan yang lebih baru dan
berarti untuk diri semdiri maupun orang lain. Mungkin memang benar diriku penuh
dengan kekurangan, tapi bukan berarti kekurangan itu bisa mematikan segalanya.
Kekurangan yang ada dalam diriku ini bisa menjadi suatu senjata untuk lebih
maju dan lebih berprestasi di bandingkan dengan orang-orang lain yang terlalu
sombong dan tak memakai segala potensi dan kesempurnaannya yang dia milikki
untuk hal-hal yang berguna.
Mulailah
otak ini bekerja untuk berfikir dan mencari akal, mungkin Kak Uni sudah tak
bisa melihat, tapi aku bisa menjadi perantara dan membuatnya melihat lagi kalau
ada usaha untuk mengantarkannya ke dokter spesialis mata dan mengoperasi
matanya agar bisa melihat lagi, meskipun tak sebagus mata asli. Dan aku, aku memang
gagap aku bisu tak bisa berbicara, tapi itu bukan akhir dari segalanya. Ya, aku
ambil positifnya dari ini.. Daripada aku banyak bicara dan tak ada manfaatnya
sama sekali untukku, apalah guna kesempurnaan itu. Kebahagiaan terlahir dari
sebuah kesederhanaan yang di hiasi oleh ketekunan dan ketaatan diri dalam
menjalankan sebuah kewajiban yang semestinya selaku umat muslim.
Semua
yang terjadi sudah menjadi sebuah garis kehidupan yang mesti di lewati oleh
pemerannya. Kita lah pemeran kehidupan, dan sutradara kehidupan itu ialah Allah
Subhanahu Wata’alaa... Allahu Shomad.. Tiada yang pantas untuk di jadikan
sebagai gantungan atau tempat untuk berserah diri, semua manusia termasuk aku
membutuhkan pertolongan, ketika bergantung di rumah besar dan gedong, akan
hancur oleh gempa dan seluruh yang ada di permukaan bumi ini akan hancur ketika
Allah menghancurkannya.
Setelah
beberapa tahun aku berkelana mencari jati diriku yang sebenarnya, ternyata aku
menemukan siapalah diriku sebenarnya, aku adalah manusia yang memiliki tanggung
jawab dan tugas yang sangat berat di dunia. Allah telah memilihkanku untuk
menjadi pewaris bumi ini jika aku adalah orang yang beriman. Di usiaku yang
terbilang cukup muda, aku mampu menerbitkan suatu karya tulis yang aku tulis
oleh tanganku sendiri. Dan bahagianya adalah ketika aku menyadari bahwa aku
bisa menjadi seorang manusia yang berguna dan sukses meskipun fisikku sangat
mempunyai banyak kekurangan. Karena sudah berpenghasilan lebih dari cukup, dan
banyak sekali orang-orang yang percaya dan mau membantu aku untuk meringankan
beban kehidupan aku. Akhirnya, aku mampu melakukan satu hal lagi yang dapat
menggembirakan hati orang lain. Ya, aku akan membantu Kak Uni untuk mendonorkan
mataku kepadanya sehingga dia bisa melihat kembali indahnya dunia yang
berwarna-warni ini. InsyaAllah...
Aku
tak tahu apa yang akan terjadi nanti jika semuanya berganti dan kembali kepada
keadaan semula, apakah Kak Uni masih akan tetap menemani dan bersama-sama
denganku? Atau dia akan pergi dan mengucilkanku sama seperti orang-orang
sebelumnya? Entahlah, lihat saja nanti.
Jantungku
semakin berdegup kencang, pikiranku tidak tenang dan aku sangat resah
menghadapi operasi donor mata yang akan aku lakukan dengan dokter spesialis
itu.
“Maaf
de, tapi kami tidak bisa melakukannya.” Ucap dokter terkait kepadaku sambil
menepuk bahuku.
“Loh
kenapa? Mataku masih sangat sehat dan tidak ada kerusakan didalamnya.” Jawabku
terheran.
“Ini
melanggar kode etik kedokteran, karena memang dalam aturannya pun tidak boleh
sembarang orang dan bukan seseorang yang masih hidup dan dalam keadaan sehat.”
“Tapi
dimana lagi orang yang bisa mendonorkan matanya? Bukankah memang sulit untuk
mencari pendonor mata seperti yang diharapkan untuk saat ini?” Jawabku sedikit
memelas.
Dokter
itu menggelengkan kepalanya dan tetap bersikeras berkata, “Maaf itu sudah
menjadi ketentuan pihak kami.”
Belum
sempat mengoperasi mata Kak Uni, aku kembali depresi dan banyak menggunakan
otakku untuk memikirkan bagaimana semua ini akan berjalan sesuai dengan yang
kuinginkan, mendonorkan mata untuk Kak Uni agar bisa melihat kembali. Dan
ketika aku sedang berjalan menuju ruangan yang didalamnya ada Kak Uni yang
sedang terbaring lemah karena kondisinya yang sangat menurun.
Aku
menatap dalam-dalam raut wajahnya yang masih rusak akibat kecelakaan ditahun
yang lalu itu, kemudian aku teringatkan oleh keluargaku yang aku sendiripun tak
tahu mereka semua ada dimana dan sedang apa, bagaimana kabar mereka pun aku tak
pernah mengetahuinya. Suasana begitu hening, hanya dentingan arah jarum jam
yang terdengar ketika itu.
“Aaaaww..”
Jerit Kak Uni sambil memegang erat kepalanya, dan aku pun terkaget mendengar
jeritan yang spontanitas itu. Aku langsung mendekati Kak Uni dan memegang erat
tangannya.
“Kakak, Kakak
kenapa? Apa yang dirasakan oleh Kakak?” Tanyaku pilu.
Tak terdengar
suara apapun dari mulut Kak Uni, aku malah menyaksikan badan Kak Uni yang
loncat-loncat seperti kejang-kejang, dan detak jantungnya pun mulai tak
beraturan. “Kenapa lagi ini?” Tanyaku panik sambil melihat gelombang detak jantung
pada monitor yang terletak disamping Kak Uni. Aku segera menekan tombol
pemanggil untuk memanggil dokter untuk mendatangiku di ruangan Kak Uni dirawat.
Setelah
beberapa kali aku menekan tombol pemanggil itu, barulah dokter Irwan kembali
muncul dan melakukan pekerjaannya untuk melayani Kak Uni.
Ketika dokter
sedang memeriksa keadaan Kak Uni, aku melihat ada seorang ibu-ibu berpakaian compang-camping layaknya seorang gembel
sedang menjinjing keranjang berisikan makanan. Karena aku penasaran dan merasa
simpati, kemudian aku mendekatinya.
“Ibu..”
Panggilku sambil menepuk punggungnya.
Ibu itu
melirik ke arahku kemudian tersenyum sambil berkata “Ya, nak?”. Aku terkaget
dan setengah tak percaya, “Astaghfirullah.. Dia ibuku” Gumamku dalam hati. Aku
menangis menatapnya, pandanganku tiba-tiba memelas dan ada hasrat ingin
memeluknya. Tapi..
“Ada apa, nak?
Mengapa pandanganmu seperti itu?” Tanyanya penuh dengan senyum.
“Ibu tak
mengenali aku? Aku Nia...” Jawabku isak karena tak sanggup membendung air mata
ini.
“Niaa..?”
Jawabnya sambil mengangkat kepalanya ke atas dan sejenak memejamkan matanya
sebagai tanda bahwa dia sedang mengingat-ingat namaku. Kemudian dia kembali
membuka matanya dan melanjutkan perkataannya “Nia, anakku?” Tanyanya dengan
wajah yang memerah dan mata yang berkaca-kaca.
Tak perlu
berbasa-basi lagi aku pun segera meraih tangannya dan segera kupeluk erat
tubuhnya, rasanya nyaman sekali dan aku baru kali ini merasakan hangatnya
dekapan seorang ibu. Air mata kita berdua pun tak bisa lagi tertahan, kita
berdua terlarut terbawa suasana, mungkin memang sudah lama sekali kita terpisah
tapi aku tak menyangka bahwa ibu akan seromantis ini terhadapku, mengapa ibu
tak merasa jijik berada di dekatku?
“Nia anak
ibu, kemana saja selama ini?” Tanya Ibu sambil mengelus rambutku.
“Nia pikir
ibu sudah tak menganggap Nia sebagai anak ibu lagi, karena mungkin ibu merasa
jijik dan tak menerima keadaanku yang cacat seperti ini.” Jawabku kelu.
“Maafkan ibu,
nak. Ibu waktu itu memang sulit untuk menerima kenyataan pahit seperti itu,
tapi setelah Kakak-mu Sandra menghembuskan nafas terakhirnya sebulan yang lalu,
ibu merasa kehilangan anak yang baik dan shalehah sepertimu Nia..” Jawab ibu
lagi.
Tiba-tiba
saja aku teringat oleh Kak Uni setelah mendengar nama Kak Sandra, segera aku
melepaskan dekapan Ibu sambil berkata “Ibu, aku harus melihat Kak Uni dulu
diruang pojok sana!” Aku pun berlari menuju ruangan Kak Uni dan Ibu mengikutiku
pergi. Dan benar saja, ketika aku sampai tepat pada depan pintu ruangan Kak
Uni, dokter keluar dari ruangannya dan segera aku dekati beliau dan kemudian
aku bertanya seputar keadaan Kak Uni. Namun...
“Bagaimana
dok?” Tanyaku penasaran.
Tak ada jawaban
si dokter, dokter hanya sejenak menghela nafasnya kemudian menggelengkan
kepalanya dan berkata “Allah memanggilnya lebih dulu, maaf”.
“Innalillahi
wa innailaihi rajii’uun..” Kataku terbata. Aku tak percaya... Kakak-ku,
keduanya Kak Sandra, Kak Uni... Tidaaaaaakkk.....
Aku
menangis dipangkuan ibuku, aku menangis sederas-derasnya. “Ibu aku tak percaya
ini semua terjadi menimpaku..” Ucapku menatapnya dengan wajah memelas.
“Semua
ini sudah menjadi yang terbaik untuk mereka berdua, sudahlah yang penting saat
ini kamu tak sendiri lagi, ada ibu yang akan selalu menjagamu..”
“Terimakasih
Ibu...” Jawabku penuh dengan senyuman.
"Jika
kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu" Q.S Ali-Imran (3) :31
Akan
menjadi sebuah kesalahan besar ketika kita mengikuti hawa nafsu dan banyaknya
prasangka-prasangka yang terlintas dalam benak. Memang sangat berat untuk
menjadi seorang yang benar, namun anak TK pun tau dan mengalami kesalahan.
Ketika dia sedang belajar menulis, awalnya dia tak mampu dan banyak
penulisan-penulisan yang salah dan bahkan jauh dari benar. Tapi, kalau kita
selalu berusaha dan membenahi diri. Mungkin kita akan menjadi guru dan
pembimbing banyak orang yang selalu mengalami kesalahan menjadi seorang manusia
yang super benar.
Semua
ujian dan cobaan itu tak akan selamanya berat, pastilah kan berlalu sebagaimana
gelap menjadi terang. Itu bagaimana cara kita berfikir dan bertindak.. Masukan
sugesti yang positif ketika kondisi dalam keadaan negatif.
Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari,
bahkan satu jam dari detik ini pun tak ada yang mengetahuinya. Disini kita
berbicara tentang jati diri. Jati diri adalah siapa diri kita yang sebenarnya.
Jika dilihat didalam Kitab Suci Al-Qur’an kita adalah seorang manusia yang
diciptakan untuk mengabdi kepada Sang Pencipta, Allah Subhanahu Wata’alaa.
Fitrahnya, adalah manusia yang senantiasa taat kepada Allah serta jiwanya yang
hanif yang hanya ingin mengabdi kepada Allah selama hidupnya. Itulah jati diri
manusia yang sejatinya, yang sebenarnya.
Mungkin dengan adanya kisah fiksi ini akan membuka mata
hati dan memotivasi diri agar lebih banyak bersyukur dan sabar akan menjalani
segala sesuatunya, karena pertolongan Allah itu benar-benar nyata dan tak ada
kata dusta.
***
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar