Sabtu, 29 September 2012

Inilah Jati Diriku!



        Bunyi jangkrik dan dinginnya malam kali ini benar-benar menjadi teman setiaku di malam ini. Aku meletakkan kepalaku di atas tanah, dan aku memandang ke arah langit dan aku melihat berbagai macam jenis bintang yang berserakan di atas sana. Namun, bulan itu memang selalu saja sendiri. Sama halnya denganku.
       "Ah... Mungkin memang seharusnya seperti itu.." Langsung saja kusapu segala pemikiran konyolku tentang apa yang terjadi pada langit di malam ini. Aku sangat menikmati kesendirianku di malam ini, di tengah rimbunan pepohonan dan banyak nya gunung-gunung di sekelilingku. Itu semua membuatku merasakan keteduhan dan kedekatan yang amat sangat indah dengan Khalikku. Langsung saja kumatikan handphone yang sempat berbunyi karena menghancurkan segala ketenangan dan ketentraman dalam jiwaku pada malam ini.
      "Mungkin dengan kepergianku kali ini akan membuat mereka semua tenang, tanpa harus merasakan sial atau apalah itu berbagai macam persoalan yang selalu saja menyudutkanku. Apa karena memang aku harus selalu hidup dalam kesendirian?" Tanyaku dalam hati.
Air mataku mulai mengucur dan ku alirkan dengan derasnya layaknya air yang turun mengalir dari saluran pipa ke bak mandi. Ditemani dengan satu buah buku tulis dan sebuah pena berwarna coklat keemas-emasan, aku mulai menuliskan apa yang sebenarnya aku rasakan disaat tiada siapapun di sampingku.
Dear Diary...
Sepertinya harapanku untuk mengobati semua luka yang sudah lama tertoreh di hati kakakku tak juga bisa terealisasikan, semenjak kejadian itu aku tak kan pernah bisa memaafkan diriku sendiri yang terlalu teledor, karena ketika aku hendak mengangkat panci yang berisikan air panas itu terguyurkan ke keponakanku yang masih sangat kecil. Sehingga kulit-kulitnya melepuh dan tak bisa terselamatkan lagi. Entah suatu kebodohan yang memang tak wajar hingga karena perlakuan ku yang sangat buruk sekali mampu membuat kakakku kehilangan anak pertamanya, dan mungkin saat ini aku masih selalu saja di sebut-sebut sebagai "pembunuh" oleh kakakku. Tapi apakah ini semua salahku? Aku tak menjadikan kecacatanku sebagai senjata untuk melindungi ku agar tak tersalahkan, tapi memang inilah aku. Aku tak sama seperti mereka yang bisa melakukan apa saja seperti apapun yang mereka inginkan. Aku cacat! Dan aku selalu saja mendapatkan perlakuan buruk dari teman-teman ku, bahkan orangtua ku sendiri. Hingga aku berfikir, mungkin tiada lagi artinya aku hidup. Aku di besarkan oleh pembantu yang sudah lama bekerja kepada orangtua ku, dan sekarang aku harus berpisah dengannya karena hari kemarin adalah hari terakhirnya menghirup udara di planet bumi ini. Aku makin dan semakin merasakan kesunyian, tiada seorangpun yang mampu menghapus setiap linangan air mata yang turun membasahi pipi chubby ku.
Dalam kegelapan dunia yang mencekam, dinginnya malam yang sangat menusuk hingga ke tulang-tulangku itu semakin menyesakkan dadaku..Aahhh..aku tak tahaaaan... Mengapa aku tercipta sangat berbeda dengan yang lainnya? Hingga tiada satu orangpun yang peduli terhadapku... Oh Allah... Aku tak sanggup, mengapa mereka membesarkan aku jika aku harus semerana ini? Mengapa tak mereka bunuh saja aku sedari aku kecil dahulu? Kak Sandra... Maafkan Nia... Nia gak sengaja membuat anak Kakak meninggal setelah 2 tahun lamanya itu... Aku menyesal...
       Aku semakin merasakan kesunyian, keheningan, tapi memang inilah saat-saat yang sangat membuat ku merasakan tentram karena tidak ada lagi orang-orang yang menghina dan mencemoohkan aku. Namun, aku merasakan kesendirian, kehampaan, kekosongan, rasa tidak bersyukur karena aku terlahir sebagai anak cacat, penuh dengan kekurangan. Dan itu sangat menyakitkan sekali untukku..
      "Sudahlah, mungkin memang seharusnya aku mengalami hal yang semodel begini, dan aku yakin akan ada kebaikan setelah ini kalau aku bisa menempatkan diriku di tempat yang memang tepat untukku.." fikirku.
        Aku tundukkan kepalaku sejenak dan setelah itu ku atur hela nafasku hingga akhirnya aku bisa tertidur dengan lelapnya
 ***
       Kicauan burung dan sejuknya udara di pagi hari ini membuat semangatku berkobar, memang masih terlihat sangat sepi di pegunungan ini. Yah wajarlah, niatannya juga kan memang ingin menyepi dan menyendiri dan memang tidak akan mungkin ada banyak orang yang berlalu lalang ditempat seperti ini. Aku memutuskan untuk pergi dari tempat ini dan tinggal di masjid raya di pusat kota Bandung itu.
Ku hampiri motor bututku berwarna hitam bercorak oranye menghiasi kulitnya, kuambil kunci motor yang tersimpan dalam di saku celanaku, kunaiki motor itu segemas mungkin, ku banting stirnya dan lalu ku tancapkan gas sekencang-kencangnya.
       "Aaaaawwww.." Jeritku spontan ketika sedang berada di tengah-tengah perjalanan. Sakit mataku kambuh lagi, sehingga aku tak bisa melihat dengan jelas, semuanya terasa buram, karena yang sedang aku fikirkan saat ini hanyalah kesendirian dan tak ada gunanya lagi aku untuk hidup. Yah, kumantapkan niatan aku itu, dan aku semakin dekat dengan ajalku.. Aku tancap gas motorku lebih kencang lagi mendekati pohon yang besar itu, hingga tiada sisa dari tubuhku ini.
      "Praaaaaak.." Terdengar suara ledakan yang sangat keras... Aku melirik ke arah belakang "Bukan itu bukan motorku, aku belum menabrakan diriku ke pohon besar itu, seketika aku terkaget dan mencari tau dimana suara yang keras itu berada lalu aku jalankan kembali motorku untuk mendekati suara keras"Yah di daerah sini.. seperti nya.." . Dan setibanya aku di tempat kecelakaan itu, aku menyaksikan tubuh seorang manusia yang sungguh sangat sempurna. Wanita berwajah cantik mengenakan pakaian tertutup berwarna ungu muda bersama dengan motor matic nya yang kini di lumuti banyak darah, darah itu berceceran dimana-mana hingga memulas sebagian kulit pohon yang berada tepat di hadapannya. Aku melihat diriku sendiri yang masih terlihat sempurna, utuh "Aku tidak remuk seperti dia.. Aku masih bisa berjalan dan masih bisa bernafas dengan semestinya, dan aku masih diberikan kesempatan untuk menjadi seseorang yang berguna dan..." Tak ku lanjutkan pembicaraanku pada diriku sendiri, "Bodoh untuk apa aku diam seperti ini!"
Aku segera mendekati wanita yang penuh dengan darah itu, dan aku membantunya untuk keluar dari tindihan motornya yang meniban sebagian wajahnya.. Tak bisa ku gambarkan bagaimana hancurnya wajah seorang manusia yang seharusnya masih cantik dan sempurna tanpa ada sedikit pun luka dan pecah-pecah di wajahnya kini harus mengalami sesuatu yang sangat mengerikan.
    "Aaaaaaarrrggghhh..." Ku pegang erat mataku yang masih seperti tadi sakitnya, luar biasa.. Ini adalah satu titik dan satu awal dimana aku berbuat sesuatu yang sangat berguna dan bermanfaat untuk seorang manusia yang sama sekali aku tak mengenalinya, meskipun dia dalam keadaan tak sadar dan penuh dengan darah. Mungkin saja dia masih diberikan kesempatan untuk hidup, "Aku bukan pembunuh! Dan bahkan mungkin semoga saja ini semua belum terlambat" tekadku dalam hati untuk membuktikan kepada diriku sendiri bahwa aku bukanlah seorang pembunuh, tapi yang menyelamatkan nyawa manusia ketika dia sudah melakukan aksi bunuh diri, meskipun dengan mataku yang sangat sakit ini aku melakukannya.
Ku angkat wanita itu dan ku ikatkan dirinya di motorku menggunakan ranting-ranting yang berada disekitar pohon besar itu sehingga aku bisa membawanya dengan cepat ke rumah sakit yang terdekat dari daerah sini.
***
= Sesampainya Di Rumah Sakit =
           Tak'kan kubuat cerita ini layaknya kisah si melankolis yang tak tau bagaimana berbuat sesuatu, terhimpit pemikirannya oleh perasaan yang berkecamuk didalam pikirannya. Aku memang tak bisa berbicara, namun segera saja aku tuliskan bagaimana kronologi kecelakaan yang menimpa wanita yang di bawanya itu, dan tak lupa aku segera meminta bantuan orang sekitar untuk memberitahukan kepada keluarga si wanita itu bagaimana keadaan anaknya yang saat ini sedang berada di rumah sakit karena aksi bunuh diri.
            Setelah doktor selesai memeriksa bagaimana keadaan wanita tersebut, doktor itu kemudian keluar dari ruangannya dan langsung saja aku menanyakan kepadanya tentang perkembangan kesehatan wanita itu.
            “ahaiaha ho’..” Ucapku sambil menggerakkan tanganku untuk memberikan isyarat kepada doktor tersebut.
            “Lihatlah kedalam, dia masih terselamatkan nyawanya. Hanya saja, dia tak bisa berjalan karena tulang-tulangnya pun tak sekuat awal mula, dan kepalanya yang sangat terbentur keras sehingga mengakibatkan dia tak bisa melihat.” Begitulah jawab doktor yang menjelaskanzs kepadaku.
            Aku pun segera masuk kedalam ruangan dimana wanita itu berbaring, aku melihatnya sedang menangis menutupi wajahnya. Aku pun segera mendekatinya..
“Ha’...” Panggilku..
            Dia mencari dimana suara ku dengan mengangkat kedua tangannya untuk mencari keberadaan ku. “Siapa kamu?” Tanya nya nyaring.
            “Ini aku, Nia. Aku yang membawa Kakak ke rumah sakit ini ketika kakak mengalami kecelakaan hebat tadi.” (Langsung saja di artikan seperti ini...)
            “Kenapa kamu menolong aku yang jelas-jelas aku ingin mengakhiri hidupku ini hah? Lihatlah aku jadi seperti ini... Aku tak bisa melihat dan kaki ku sama sekali tidak bisa aku gerakkan! Coba saja kalau kamu tadi tidak menolongku, mungkin aku tak kan seperti ini.”
            “Maafkan aku kak, tapi aku juga sama seperti kakak yang mengalami depresi sangat teramat berat. Aku pun awalnya akan mengakhiri hidupku juga dengan menabrakkan diri ke pohon yang besar bersama dengan motorku, tapi hal itu tak sempat aku lakukan karena aku mendengar suara keras yang itu muncul dari seberang dan itu adalah motor kakak. Aku tak ingin melihat kakak yang seharusnya masih hidup dan membenahi diri malah mengakhiri hidupnya, mungkin kalau aku yang mati tak kan ada yang merasakan kehilangan, tapi kalau kakak, aku yakin banyak yang akan merasakan kehilangan kakak.”
            “Kamu salah!” Tukasnya dengan nada menyentak.
            “Memang apa yang membuat kakak merasakan depresi sehingga muncul tekad untuk mengakhiri hidup kakak?” Jawabku merendah sambil menundukkan wajahku.
            “Pertama, karena aku selalu saja mengalami perlakuan buruk dari suami ku. Kedua, aku kehilangan pekerjaan ku, dan yang ketiga aku baru saja mengalami keguguran karena aku depresi selalu di tekan-tekan oleh suami ku. Aku tak tahan menghadapi kehidupan yang seperti ini. Orang tua ku sudah lama tiada, aku di besarkan di panti asuhan, dan mertua ku.. Hah.. sama seperti di sinetron-sinetron, orang kaya banyak uang yang memandang rendah padaku. Aku seperti budak, pembantu yang tak di gaji dan di acuhkan di buang begitu saja layaknya bubble gum ketika manisnya tiada di buang dan lalu di injak tiada harganya.”
Seketika dia terdiam dan mencoba meraih tangan ku, dia menyuruh ku untuk duduk di sampingnya dan kemudian melanjutkan pembicaraannya.
“Kamu umur berapa?” Tanya wanita itu.
“Aku 21 tahun...” Jawabku.
“Lalu, kenapa kamu depresi dan mau melakukan hal yang sama persis dengan ku?” Tanyanya lagi.
“Aku cacat dan banyak orang yang mengucilkan ku, terlebih orang tuaku dan semuanya sangat jijik berada dekat denganku. Aku tak sanggup seperti ini terus, dan pernah ku melakukan sesuatu yang sangat berakibat fatal menerbangkan nyawa seorang bayi. Ini karena kecacatan yang ada pada diriku.”
“Untungnya aku tak bisa melihat mu kalau kejadiannya akan seperti itu, beruntung sekali untukmu kecelakaan yang terjadi padaku ini J”
“Tapi, ini semua membukakan mata dan pemikiran ku. Aku mengerti sekarang bagaimana aku harus menjalani kehidupanku yang serba kekurangan ini.”
“Ya, jika sudah begini mau apalah aku. Masalah kan terus selalu mengintai selama kita masih hidup di dunia yang judulnya pun sudah fana, hmm... waktunya taubat dan membersihkan segala diri dari dosa Nia..”
“Tapi, apakah masalah ini harus kita hindari? Sementara berbicara pun aku tak bisa, kakak sendiri pun tak bisa melihat.”
“Sendiri lebih baik dan mencari kehidupan yang baru. Itu solusi untukku...”
“....” Aku terdiam tak menjawab.
Suasana tiba-tiba menjadi hening. Dia terdiam, begitupun dengan aku. Hmm.. aku tak tau harus bagaimana menebus rumah sakit ini, uang pun aku tak punya. Entahlah...
***
            Karena aku tak sanggup membayar rumah sakit, aku pun harus merelakan motor kesayanganku dan Kak Uni harus merelakan handphone yang selama ini dia gunakan.
            Inilah awal perjuangan ku dan Kak Uni untuk menjalani kehidupan yang lebih baru dan berarti untuk diri semdiri maupun orang lain. Mungkin memang benar diriku penuh dengan kekurangan, tapi bukan berarti kekurangan itu bisa mematikan segalanya. Kekurangan yang ada dalam diriku ini bisa menjadi suatu senjata untuk lebih maju dan lebih berprestasi di bandingkan dengan orang-orang lain yang terlalu sombong dan tak memakai segala potensi dan kesempurnaannya yang dia milikki untuk hal-hal yang berguna.
            Mulailah otak ini bekerja untuk berfikir dan mencari akal, mungkin Kak Uni sudah tak bisa melihat, tapi aku bisa menjadi perantara dan membuatnya melihat lagi kalau ada usaha untuk mengantarkannya ke dokter spesialis mata dan mengoperasi matanya agar bisa melihat lagi, meskipun tak sebagus mata asli. Dan aku, aku memang gagap aku bisu tak bisa berbicara, tapi itu bukan akhir dari segalanya. Ya, aku ambil positifnya dari ini.. Daripada aku banyak bicara dan tak ada manfaatnya sama sekali untukku, apalah guna kesempurnaan itu. Kebahagiaan terlahir dari sebuah kesederhanaan yang di hiasi oleh ketekunan dan ketaatan diri dalam menjalankan sebuah kewajiban yang semestinya selaku umat muslim.
            Semua yang terjadi sudah menjadi sebuah garis kehidupan yang mesti di lewati oleh pemerannya. Kita lah pemeran kehidupan, dan sutradara kehidupan itu ialah Allah Subhanahu Wata’alaa... Allahu Shomad.. Tiada yang pantas untuk di jadikan sebagai gantungan atau tempat untuk berserah diri, semua manusia termasuk aku membutuhkan pertolongan, ketika bergantung di rumah besar dan gedong, akan hancur oleh gempa dan seluruh yang ada di permukaan bumi ini akan hancur ketika Allah menghancurkannya.
            Setelah beberapa tahun aku berkelana mencari jati diriku yang sebenarnya, ternyata aku menemukan siapalah diriku sebenarnya, aku adalah manusia yang memiliki tanggung jawab dan tugas yang sangat berat di dunia. Allah telah memilihkanku untuk menjadi pewaris bumi ini jika aku adalah orang yang beriman. Di usiaku yang terbilang cukup muda, aku mampu menerbitkan suatu karya tulis yang aku tulis oleh tanganku sendiri. Dan bahagianya adalah ketika aku menyadari bahwa aku bisa menjadi seorang manusia yang berguna dan sukses meskipun fisikku sangat mempunyai banyak kekurangan. Karena sudah berpenghasilan lebih dari cukup, dan banyak sekali orang-orang yang percaya dan mau membantu aku untuk meringankan beban kehidupan aku. Akhirnya, aku mampu melakukan satu hal lagi yang dapat menggembirakan hati orang lain. Ya, aku akan membantu Kak Uni untuk mendonorkan mataku kepadanya sehingga dia bisa melihat kembali indahnya dunia yang berwarna-warni ini. InsyaAllah...
            Aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti jika semuanya berganti dan kembali kepada keadaan semula, apakah Kak Uni masih akan tetap menemani dan bersama-sama denganku? Atau dia akan pergi dan mengucilkanku sama seperti orang-orang sebelumnya? Entahlah, lihat saja nanti.
            Jantungku semakin berdegup kencang, pikiranku tidak tenang dan aku sangat resah menghadapi operasi donor mata yang akan aku lakukan dengan dokter spesialis itu.
            “Maaf de, tapi kami tidak bisa melakukannya.” Ucap dokter terkait kepadaku sambil menepuk bahuku.
            “Loh kenapa? Mataku masih sangat sehat dan tidak ada kerusakan didalamnya.” Jawabku terheran.
            “Ini melanggar kode etik kedokteran, karena memang dalam aturannya pun tidak boleh sembarang orang dan bukan seseorang yang masih hidup dan dalam keadaan sehat.”
            “Tapi dimana lagi orang yang bisa mendonorkan matanya? Bukankah memang sulit untuk mencari pendonor mata seperti yang diharapkan untuk saat ini?” Jawabku sedikit memelas.
            Dokter itu menggelengkan kepalanya dan tetap bersikeras berkata, “Maaf itu sudah menjadi ketentuan pihak kami.”
            Belum sempat mengoperasi mata Kak Uni, aku kembali depresi dan banyak menggunakan otakku untuk memikirkan bagaimana semua ini akan berjalan sesuai dengan yang kuinginkan, mendonorkan mata untuk Kak Uni agar bisa melihat kembali. Dan ketika aku sedang berjalan menuju ruangan yang didalamnya ada Kak Uni yang sedang terbaring lemah karena kondisinya yang sangat menurun.
            Aku menatap dalam-dalam raut wajahnya yang masih rusak akibat kecelakaan ditahun yang lalu itu, kemudian aku teringatkan oleh keluargaku yang aku sendiripun tak tahu mereka semua ada dimana dan sedang apa, bagaimana kabar mereka pun aku tak pernah mengetahuinya. Suasana begitu hening, hanya dentingan arah jarum jam yang terdengar ketika itu.
“Aaaaww..” Jerit Kak Uni sambil memegang erat kepalanya, dan aku pun terkaget mendengar jeritan yang spontanitas itu. Aku langsung mendekati Kak Uni dan memegang erat tangannya.
“Kakak, Kakak kenapa? Apa yang dirasakan oleh Kakak?” Tanyaku pilu.
Tak terdengar suara apapun dari mulut Kak Uni, aku malah menyaksikan badan Kak Uni yang loncat-loncat seperti kejang-kejang, dan detak jantungnya pun mulai tak beraturan. “Kenapa lagi ini?” Tanyaku panik sambil melihat gelombang detak jantung pada monitor yang terletak disamping Kak Uni. Aku segera menekan tombol pemanggil untuk memanggil dokter untuk mendatangiku di ruangan Kak Uni dirawat.
Setelah beberapa kali aku menekan tombol pemanggil itu, barulah dokter Irwan kembali muncul dan melakukan pekerjaannya untuk melayani Kak Uni.
Ketika dokter sedang memeriksa keadaan Kak Uni, aku melihat ada seorang ibu-ibu berpakaian compang-camping layaknya seorang gembel sedang menjinjing keranjang berisikan makanan. Karena aku penasaran dan merasa simpati, kemudian aku mendekatinya.
“Ibu..” Panggilku sambil menepuk punggungnya.
Ibu itu melirik ke arahku kemudian tersenyum sambil berkata “Ya, nak?”. Aku terkaget dan setengah tak percaya, “Astaghfirullah.. Dia ibuku” Gumamku dalam hati. Aku menangis menatapnya, pandanganku tiba-tiba memelas dan ada hasrat ingin memeluknya. Tapi..
“Ada apa, nak? Mengapa pandanganmu seperti itu?” Tanyanya penuh dengan senyum.
“Ibu tak mengenali aku? Aku Nia...” Jawabku isak karena tak sanggup membendung air mata ini.
“Niaa..?” Jawabnya sambil mengangkat kepalanya ke atas dan sejenak memejamkan matanya sebagai tanda bahwa dia sedang mengingat-ingat namaku. Kemudian dia kembali membuka matanya dan melanjutkan perkataannya “Nia, anakku?” Tanyanya dengan wajah yang memerah dan mata yang berkaca-kaca.
Tak perlu berbasa-basi lagi aku pun segera meraih tangannya dan segera kupeluk erat tubuhnya, rasanya nyaman sekali dan aku baru kali ini merasakan hangatnya dekapan seorang ibu. Air mata kita berdua pun tak bisa lagi tertahan, kita berdua terlarut terbawa suasana, mungkin memang sudah lama sekali kita terpisah tapi aku tak menyangka bahwa ibu akan seromantis ini terhadapku, mengapa ibu tak merasa jijik berada di dekatku?
“Nia anak ibu, kemana saja selama ini?” Tanya Ibu sambil mengelus rambutku.
“Nia pikir ibu sudah tak menganggap Nia sebagai anak ibu lagi, karena mungkin ibu merasa jijik dan tak menerima keadaanku yang cacat seperti ini.” Jawabku kelu.
“Maafkan ibu, nak. Ibu waktu itu memang sulit untuk menerima kenyataan pahit seperti itu, tapi setelah Kakak-mu Sandra menghembuskan nafas terakhirnya sebulan yang lalu, ibu merasa kehilangan anak yang baik dan shalehah sepertimu Nia..” Jawab ibu lagi.
Tiba-tiba saja aku teringat oleh Kak Uni setelah mendengar nama Kak Sandra, segera aku melepaskan dekapan Ibu sambil berkata “Ibu, aku harus melihat Kak Uni dulu diruang pojok sana!” Aku pun berlari menuju ruangan Kak Uni dan Ibu mengikutiku pergi. Dan benar saja, ketika aku sampai tepat pada depan pintu ruangan Kak Uni, dokter keluar dari ruangannya dan segera aku dekati beliau dan kemudian aku bertanya seputar keadaan Kak Uni. Namun...
“Bagaimana dok?” Tanyaku penasaran.
Tak ada jawaban si dokter, dokter hanya sejenak menghela nafasnya kemudian menggelengkan kepalanya dan berkata “Allah memanggilnya lebih dulu, maaf”.
            “Innalillahi wa innailaihi rajii’uun..” Kataku terbata. Aku tak percaya... Kakak-ku, keduanya Kak Sandra, Kak Uni... Tidaaaaaakkk.....
            Aku menangis dipangkuan ibuku, aku menangis sederas-derasnya. “Ibu aku tak percaya ini semua terjadi menimpaku..” Ucapku menatapnya dengan wajah memelas.
            “Semua ini sudah menjadi yang terbaik untuk mereka berdua, sudahlah yang penting saat ini kamu tak sendiri lagi, ada ibu yang akan selalu menjagamu..”
            “Terimakasih Ibu...” Jawabku penuh dengan senyuman.
"Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu" Q.S Ali-Imran (3) :31
Akan menjadi sebuah kesalahan besar ketika kita mengikuti hawa nafsu dan banyaknya prasangka-prasangka yang terlintas dalam benak. Memang sangat berat untuk menjadi seorang yang benar, namun anak TK pun tau dan mengalami kesalahan. Ketika dia sedang belajar menulis, awalnya dia tak mampu dan banyak penulisan-penulisan yang salah dan bahkan jauh dari benar. Tapi, kalau kita selalu berusaha dan membenahi diri. Mungkin kita akan menjadi guru dan pembimbing banyak orang yang selalu mengalami kesalahan menjadi seorang manusia yang super benar.
Semua ujian dan cobaan itu tak akan selamanya berat, pastilah kan berlalu sebagaimana gelap menjadi terang. Itu bagaimana cara kita berfikir dan bertindak.. Masukan sugesti yang positif ketika kondisi dalam keadaan negatif.
            Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari, bahkan satu jam dari detik ini pun tak ada yang mengetahuinya. Disini kita berbicara tentang jati diri. Jati diri adalah siapa diri kita yang sebenarnya. Jika dilihat didalam Kitab Suci Al-Qur’an kita adalah seorang manusia yang diciptakan untuk mengabdi kepada Sang Pencipta, Allah Subhanahu Wata’alaa. Fitrahnya, adalah manusia yang senantiasa taat kepada Allah serta jiwanya yang hanif yang hanya ingin mengabdi kepada Allah selama hidupnya. Itulah jati diri manusia yang sejatinya, yang sebenarnya.
            Mungkin dengan adanya kisah fiksi ini akan membuka mata hati dan memotivasi diri agar lebih banyak bersyukur dan sabar akan menjalani segala sesuatunya, karena pertolongan Allah itu benar-benar nyata dan tak ada kata dusta.

***
SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar